Berapa kali kita sering mendengar dan membaca perihal pasangan suami-isteri yang menjadi gelisah dan kesal karena mereka mengingkan supaya pasangannya tidak memiliki kekurangan ini dan kelemahan itu! Bahkan media sosial masing-masing pasangan suami isteri ini semakin terjebak dalam pergumulan yang tiada akhir untuk mengungkapkan kelemahan pasangannya. Hal yang sama mungkin kita bisa lihat juga dari kegelisahan seorang superior (atasan) terhadap bawahannya yang selalu menentang kebijakannya. Padahal berapa banyak jam kerja, rapat-rapat, pelatihan-pelatihan, dan bahkan outbond sering dijalankan bersama-sama untuk mendapatkan visi dan misi yang sejalan demi institusi dimana mereka berkarya. Semua kerinduan atas hal-hal baik yang dilakukan seakan-akan selalu salah dan parahnya selalu dimasgulkan dan dirusak sendiri oleh orang-orang yang kita kasihi, baik pasangan maupun kolega terbaik sekalipun. Ada apa dan bagaimanakah hati ini tetap bisa menjadi damai?
Selamat pagi para sahabat, realitas di atas sedikit banyak menggugah cara pandang kita dalam melihat APA yang disebut HAL BAIK dalam tujuan kita atas pasangan, rekan sejawat, atau pun orang lain di luar diri kita. Dan memang sebagian kita juga sudah mengalami bahwa apa yang kita anggap baik ternyata belum tentu diterima secara baik oleh orang lain. Maka, tidak heran untuk yang dalam definitif saja bisa diartikan salah, maka dalam prosesnya pun kita akan mendapati bahwa CARA-CARA mencapai HAL BAIK itu pun akan semakin diartikan salah oleh orang lain.
Buku "Mengolah dan Membina Hati yang Damai" dari Father Jacques Philippe dan secangkir kopi dengan sepotong roti tawar bermentega menjadi teman permenungan yang menyegarkan kembali wawasan-wawasan kami di pagi hari ini atas realitas tersebut. Apapun hal baik yang kita rencanakan dan visikan sudah seyogyanya diletakkan dalam kehati-hatian yang sungguh untuk kebaikan bersama. Dan sering sekali lagi kita harus dihadapkan pada pertanyaan: "Bersama bagi siapa? Kebaikan yang mana?" Sehingga bagi seorang yang terkadang nyalinya kecil akan sangat mudah menguburkan segala harapannya atas "apa" yang disebut "hal baik" untuk "kepentingan bersama" tersebut. Pergulatan dan kegelisahan adalah indikator atau tanda-tanda dimana jalan yang kita tempuh masih belum sejalan dengan karya Roh Kudus. Lalu bagaimanakah dapat ditemukan kedamaian hati di dalam kenyataan-kenyataan ini?
Father Jacques Philippe mengatakan bahwa dalam pribadi pasangan, rekan sejawat, atau orang lain itu sejatinya adalah toleransi-toleransi yang hadir dari pihak Allah untuk mendidik perkembangan kita dan mereka sebagai bagian dari karya penyelenggaraan-Nya yang Illahi. Hati kita adalah yang pertama-tama bertumbuh dan seperti hati Allah juga yang selalu setia kepada umatnya dan memberikan pengampunan tidak terhingga kepada setiap pribadi lainnya untuk turut dewasa hatinya.
Alih-alih terhadap siapa kita akan dikecewakan, maka hal itu tidak menjadi penting lagi selama kita tetap merasakan damai yang sejati bersama Tuhan kita karena hanya Dialah yang mengetahui rahasia kecil kita yang sesungguhnya, yaitu niat-niat kebaikan yang kita rindukan. Fase pertumbuhan kedewasaan hati orang lain memang sangat berbeda. Dan parahnya justeru itu didasari oleh kurangnya hati untuk mencari pengetahuan yang cukup. Level ketidaktahuan dan ketidakpahaman karena kurangnya data dan informasi yang cukup akan menjadi hal terbanyak dalam proporsi penghambat atas "hal baik" yang kita rindukan. Untuk hal-hal demikian, maka kita sudah selayaknya tidak perlu terpancing untuk tergesa-gesa ataupun menuntut dalam merumuskan segala sesuatu "hal baik" tersebut.
Konteks kehati-hatian, tidak menuntut, dan tidak tergesa-gesa dalam merencanakan segala hal baik sudah diterapkan. Dan bersama-sama berproses dengan orang lain untuk menumbuhkan spiritualitas kebaikan bersama juga sudah dilakukan, namun selalu saja ada jalan bagi hadirnya godaan dan niatan untuk memadamkannya. Inilah hal pertarungan adikodrati antara surga dan neraka yang tidak hanya terjadi di akhirat namun sejatinya juga terjadi perwujudannya di bumi. Dan inilah jalan kekudusan bagi orang-orang benar untuk setia dalam prosesnya. Pemurnian hati dan niat orang benar ditentukan dari cara mereka merefleksikan setiap pengalaman hidup yang dialaminya. Kesabaran, kebijaksanaan, dan kasih adalah buah-buah yang menunjukkan bagaimanapun kerasnya pergumulan, hati yang dirasakannya selalu damai. Tuhan memberikan teladan melalui tuntunan kehidupan yang dihadirkan dari orang lain yang selalu menghambat kerinduan kita atas hal baik. Peneguhan yang diberikan oleh Father Jacques Philippe diambil dari Surat Yakobus 5:7, yakni "Saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi."
Semoga dalam kita berproses, kita semakin dimurnikan karena hati kita juga terus mencari pengetahuannya untuk melengkapi: apakah kita melakukan karena masih ada kelekatan kepentingan pribadi?; apakah masih ada yang kita ingin paksakan kepada orang lain?. Sehingga biarlah bila semua memang harus gagal dan tidak mampu kita kendalikan lagi maka Jalan Allah adalah yang pada akhirnya mempertobatkan semua orang, termasuk diri kita sendiri.

Komentar
Posting Komentar